Lompat ke konten
generasi quiet quitting vs quiet hiring
Beranda » Blog » Generasi Quiet Quitting vs Quiet Hiring

Generasi Quiet Quitting vs Quiet Hiring

Leni Nurindah
Penulis Indscript

Dunia kerja terus mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Di era modern ini, muncul dua fenomena  menarik yang menjadi perhatian: quiet quitting dan quiet hiring. Keduanya menggambarkan dinamika hubungan  antara karyawan dan perusahaan yang semakin kompleks, serta menjadi cerminan perubahan pola pikir generasi pekerja saat ini.

Contents

Memahami Quiet Quitting

Quiet quitting bukanlah benar-benar berhenti bekerja, melainkan istilah yang digunakan untuk menggambarkan  karyawan yang hanya bekerja sesuai dengan deskripsi tugasnya tanpa mengambil tanggung jawab tambahan.  Mereka tetap hadir dan menyelesaikan pekerjaan, tetapi tidak menunjukkan inisiatif lebih atau keterlibatan emosional dalam pekerjaan.

Fenomena ini muncul dari keinginan karyawan untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan pribadi dan  pekerjaan (work-life balance). Banyak pekerja merasa bahwa upaya ekstra yang diberikan sering kali tidak  sebanding dengan penghargaan yang diterima. Mereka memilih untuk tidak “hidup untuk bekerja” melainkan  “bekerja untuk hidup.” Dengan kata lain, quiet quitting menjadi bentuk perlawanan halus terhadap budaya kerja  berlebihan (hustle culture).

Memahami Quiet Hiring

Sementara itu, quiet hiring adalah strategi perusahaan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja tanpa melakukan  perekrutan formal. Perusahaan memilih untuk memindahkan tanggung jawab atau menambah tugas kepada  karyawan yang sudah ada, daripada merekrut orang baru. Dengan cara ini, perusahaan bisa menghemat biaya dan waktu dalam proses rekrutmen.

Meskipun menguntungkan dari segi efisiensi, quiet hiring berpotensi membebani karyawan jika tidak diimbangi  dengan kompensasi atau dukungan yang memadai. Karyawan yang tiba-tiba mendapat tugas tambahan tanpa  kejelasan karier atau penghargaan mungkin merasa dirugikan dan kehilangan motivasi.

Mengapa Fenomena Ini Muncul?

Kedua fenomena ini tidak muncul tanpa sebab. Perubahan budaya kerja, terutama setelah pandemi COVID-19,  menjadi pemicu utamanya. Pandemi memaksa banyak orang bekerja dari rumah, memberi waktu untuk  merefleksikan prioritas hidup, serta memunculkan kesadaran baru akan pentingnya kesehatan mental dan  keseimbangan hidup.

Di sisi lain, perusahaan juga menghadapi tekanan besar untuk tetap bertahan dalam kondisi ekonomi yang tidak  pasti. Mereka perlu mencari cara untuk meningkatkan produktivitas tanpa menambah biaya operasional secara  signifikan. Strategi quiet hiring pun dipilih sebagai solusi cepat.

Fenomena ini juga dipengaruhi oleh perbedaan generasi. Generasi muda, seperti generasi milenial dan Gen Z,  cenderung lebih mengutamakan keseimbangan hidup, kebebasan, dan kesehatan mental dibanding generasi  sebelumnya yang lebih mengutamakan loyalitas kepada perusahaan.

Dampak Terhadap Dunia Kerja

Kehadiran quiet quitting dan quiet hiring membawa konsekuensi bagi dunia kerja. Bagi perusahaan, quiet quitting  bisa menurunkan produktivitas, menghambat inovasi, dan memengaruhi budaya kerja. Jika banyak karyawan  bersikap demikian, perusahaan bisa kesulitan mencapai target yang lebih ambisius.

Sementara itu, quiet hiring bisa membuat karyawan merasa terbebani. Jika beban kerja meningkat tanpa kejelasan  jenjang karier atau tambahan kompensasi, karyawan bisa merasa tidak dihargai. Akibatnya, mereka justru terdorong  melakukan quiet quitting sebagai bentuk perlawanan.

Kondisi ini menunjukkan adanya hubungan timbal balik. Strategi quiet hiring yang tidak dikelola dengan baik bisa  memicu quiet quitting. Begitu pula sebaliknya, tingginya tingkat quiet quitting membuat perusahaan terpaksa  melakukan quiet hiring untuk menutupi kekurangan tenaga kerja aktif.

Strategi Menyikapi Quiet Quitting dan Quiet Hiring

Perusahaan dan karyawan perlu saling memahami untuk mengatasi tantangan ini. Beberapa langkah yang bisa dilakukan perusahaan antara lain:

1. Membangun Komunikasi Terbuka

Penting bagi manajemen untuk mendengarkan aspirasi, keluhan, dan kebutuhan karyawan. Komunikasi dua arah  bisa mencegah kesalahpahaman dan meningkatkan kepercayaan.

2. Memberikan Penghargaan yang Layak

Usaha ekstra karyawan perlu dihargai, baik melalui bonus, promosi, maupun pengakuan non-materi. Penghargaan  ini bisa meningkatkan motivasi dan loyalitas.

3. Mengatur Beban Kerja Secara Adil

Pastikan beban kerja sesuai kapasitas dan keahlian karyawan. Hindari penambahan tugas secara sepihak tanpa  diskusi atau kejelasan peran.

4. Menyediakan Kesempatan Pengembangan Diri

Berikan akses pelatihan, mentoring, atau program pengembangan karier. Ini membantu karyawan merasa memiliki  masa depan yang jelas di perusahaan.

5. Menerapkan Kebijakan Kerja Fleksibel

Kebijakan kerja fleksibel mendukung keseimbangan hidup, yang menjadi prioritas banyak pekerja generasi modern.

Penutup

Quiet quitting dan quiet hiring adalah dua sisi dari dinamika dunia kerja modern. Keduanya mencerminkan  kebutuhan akan keseimbangan antara tuntutan perusahaan dan harapan karyawan. Agar keduanya tidak saling  menjatuhkan, dibutuhkan komunikasi, transparansi, dan kebijakan yang adil.

Generasi pekerja masa kini menuntut lebih dari sekadar gaji: mereka menginginkan pengakuan, keseimbangan  hidup, serta kesempatan berkembang. Perusahaan yang mampu memahami dan mengakomodasi kebutuhan ini  akan lebih mudah mempertahankan talenta terbaik dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif.