Leni Nurindah
Penulis Indscript
Di era digital yang serba cepat dan penuh visual, media sosial telah menjadi panggung baru bagi banyak orang, tak terkecuali anak-anak. Fenomena anak-anak yang tampil di media sosial dengan jumlah pengikut yang besar, dikenal sebagai kidsfluencer, semakin umum dijumpai. Mereka terlihat lucu, ceria, dan mampu memikat hati warganet, bahkan terlibat dalam promosi berbagai produk. Namun, di balik tampilan yang menggemaskan dan potensi
keuntungan finansial, tersembunyi berbagai risiko serius yang perlu dipahami, terutama oleh orang tua dan pengasuh. Artikel ini mengajak kita untuk lebih waspada terhadap bahaya kidsfluencer dan bagaimana menyikapinya dengan bijak.
Contents
Apa Itu Kidsfluencer?
Kidsfluencer adalah istilah yang merujuk pada anak-anak yang menjadi influencer di media sosial. Mereka memiliki akun yang dikelola oleh orang tua atau pihak lain, dan kontennya berisi aktivitas harian, promosi produk, tantangan lucu, hingga konten hiburan yang mengundang banyak penonton. Popularitas mereka sering kali dibangun sejak usia dini dan menjadi “brand” yang mendatangkan penghasilan dari endorsement, kerja sama iklan, atau penayangan video.
Meski terlihat menyenangkan, anak-anak ini sebenarnya sedang menanggung tanggung jawab besar di usia yang masih sangat muda. Mereka menjadi wajah publik, menghadapi komentar dari netizen, dan secara tidak langsung turut menyumbang pada ekonomi keluarga melalui aktivitas digitalnya.
Bahaya Kidsfluencer
Berikut ini adalah bahaya kidsfluncer:
1. Kehilangan Privasi
Anak-anak belum memahami konsekuensi dari eksposur publik. Foto dan video mereka tersebar luas tanpa mereka bisa memilih mana yang boleh dibagikan dan mana yang seharusnya tetap privat. Ini bisa berdampak pada harga diri dan kenyamanan mereka ketika tumbuh dewasa.
2. Beban Psikologis
Terus-menerus tampil di depan kamera dan menjadi pusat perhatian dapat menimbulkan tekanan mental. Anak mungkin merasa harus selalu sempurna, ceria, atau menarik, bahkan saat sedang tidak nyaman. Ketidakseimbangan ini berisiko memicu stres, kecemasan, dan gangguan citra diri.
3. Pelanggaran Hak Anak
Anak-anak memiliki hak untuk bermain, belajar, dan beristirahat. Ketika jadwal syuting atau pembuatan konten terlalu padat, hak-hak dasar ini bisa terganggu. Mereka bisa kehilangan waktu bermain bersama teman sebaya atau bahkan waktu belajar.
4. Eksploitasi Terselubung
Saat anak menjadi sumber penghasilan, tanpa sadar orang tua bisa tergoda untuk terus mendorong mereka tampil demi pemasukan. Tanpa pengawasan dan batas yang jelas, ini bisa berujung pada eksploitasi, meskipun niat awalnya tampak tidak merugikan.
Cara Bijak Menyikapi Fenomena Kidsfluencer
Berikut ini cara bijak menyikapi fenomena kidsfluencer:
1. Utamakan Kepentingan Anak
Sebelum memutuskan untuk menampilkan anak di media sosial secara rutin, tanyakan pada diri sendiri, apakah ini benar-benar untuk anak, atau demi kebutuhan orang tua? Pastikan keputusan tersebut berlandaskan kasih sayang, bukan dorongan eksistensi atau ekonomi semata.
2. Batasi Eksposur
Tidak semua momen anak harus dibagikan ke publik. Pilihlah konten yang tidak melanggar privasi dan tidak membahayakan psikologis mereka di masa depan.
3. Ajak Anak Berdiskusi
Bila anak sudah cukup umur, libatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Jelaskan bahwa mereka boleh menolak jika tidak nyaman atau lelah.
4. Tetapkan Batasan Waktu
Jangan jadikan pembuatan konten sebagai rutinitas utama. Sisakan waktu berkualitas untuk anak bermain, belajar, dan beristirahat tanpa intervensi kamera.
5. Awasi dan Evaluasi
Orang tua perlu terus mengamati dampak aktivitas ini terhadap kondisi emosional anak. Bila muncul tanda-tanda stres atau kelelahan, segeralah beri jeda atau hentikan kegiatan digital tersebut.
Penutup
Fenomena kidsfluencer merupakan bagian dari dinamika dunia digital yang tidak bisa dihindari. Namun, menjadi orang tua di era media sosial menuntut kebijaksanaan ekstra. Anak adalah amanah yang harus dijaga, bukan aset digital yang dipamerkan demi popularitas atau keuntungan. Waspadai dampak jangka panjang dari aktivitas daring anak, dan pastikan semua bentuk keterlibatan mereka di dunia maya tetap dalam koridor yang sehat, aman, dan
menghormati hak-hak mereka sebagai individu yang sedang tumbuh.